Oleh : Erika Nailah Mardiah
Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung
Di Indonesia, sistem peradilan agama dan peradilan umum berjalan berdampingan.
Peradilan agama, yang didasarkan pada hukum agama masing-masing, menangani perkara bagi umat beragama, termasuk perkara perkawinan, perceraian, warisan, dan harta bersama. Di sisi lain, peradilan umum menangani perkara bagi semua warga negara, tanpa memandang agama dan keyakinan.
Pembagian kewenangan antara kedua peradilan ini didasarkan pada asas personalitas hukum, di mana hukum yang diterapkan sesuai dengan agama dan keyakinan para pihak yang berperkara yang merupakan wujud implementasi dari Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Peradilan agama, dalam hal ini Pengadilan Agama (PA), memiliki kewenangan untuk mengadili perkara perkawinan, perceraian, kewarisan, dan harta benda yang berkaitan dengan perkawinan bagi umat Islam, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”. Sedangkan peradilan umum memiliki kewenangan untuk mengadili semua perkara perdata, termasuk bagi orang non-Islam, yang tidak termasuk dalam kewenangan peradilan agama.
Jadi, berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa kewenangan Pengadilan Agama memang hanya untuk orang Islam yang sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sedangkan kewenangan Pengadilan Negeri untuk orang non-Islam dan perkara-perkara yang tidak termasuk dalam kewenangan peradilan agama. Hal ini didasarkan pada asas personalitas hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya kebebasan beragama dan beribadah.
Namun, dalam praktiknya, terdapat celah hukum yang menyebabkan beberapa non-Muslim kesulitan dalam mengakses peradilan agama. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan kesetaraan akses terhadap peradilan di Indonesia.
Ketika seorang non-Muslim menikah dengan Muslim, mereka harus melangsungkan pernikahan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah (PPN) dan di Kantor Urusan Agama (KUA).