banner 728x90
Babel hari iniEdukasiEkonomiLokalNewsOpiniPendidikan

Mengejar Kehidupan Sempurna: Dampak FOMO pada Kesehatan Mental Gen Z

25
×

Mengejar Kehidupan Sempurna: Dampak FOMO pada Kesehatan Mental Gen Z

Sebarkan artikel ini

Oleh : Risma Berliana, Jurusan Bisnis Digital Universitas Bangka Belitung

Di era yang serba digital ini, kehidupan Gen Z tidak bisa di pisahkan dari dunia maya. Gen Z tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan citra kehidupan yang di pajang di media sosial.

Dengan hadirnya media sosial yang dominan, seperti Instagram,Tiktok, atau Facebook, mereka tumbuh dalam lingkungan yang terhubung secara langsung. Setiap foto, video, status, atau cerita yang mereka unggah atau lihat di media sosial menciptakan gambaran tentang kehidupan yang sempurna. Tak hanya menjadi ruang untuk membagikan momen, tetapi juga untuk membangun standar-standar kehidupan.

Hal ini menciptakan sebuah fenomena yang dikenal dengan nama FOMO (Fear of Missing Out) atau ketakutan untuk ketinggalan. FOMO ini tidak hanya sekadar rasa ingin tahu atau ketertarikan pada apa yang dilakukan oleh orang lain tetapi juga perasaan cemas atau khawatir ketika seseorang merasa tertinggal atau tidak ikut dalam suatu kegiatan atau tren yang sedang ramai. Hal itu berkembang menjadi sebuah tekanan sosial yang terus menerus mengganggu keseimbangan emosional mereka. Meskipun terdengar sepele, ternyata memiliki dampak yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan, terutama bagi Gen Z. Instagram stories, Tiktok trends, update LinkedIn tentang promosi kerja dan Twitter yang ramai dengan topik-topik viral, semuanya menciptakan ilusi bahwa kehidupan orang lain selalu lebih menarik, lebih produktif , dan lebih berhasil. Gen Z, dengan usia yang masih mencari jati diri, sangat mudah merasa tertinggal.

Tekanan untuk selalu tampil menarik, produktif, dan mengikuti semua tren membuat banyak anak muda merasa bahwa hidup mereka belum cukup “bernilai” jika tidak terlihat seperti yang ada di media sosial. Banyak yang akhirnya kehilangan koneksi dengan realitas mereka sendiri. Momen-momen yang seharusnya dinikmati secraa utuh, justru dihabiskan demi merekam, mengedit, dan menggunggah agar bisa di terima secara sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!