Oleh : Dona Oktavia mahasiswi jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung
Hukum acara peradilan agama di Indonesia sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang memiliki tujuan untuk mewujudkan peradilan yang adil, cepat dan murah. Cita-cita ini yang mencerminkan idealisme yang dijunjung tinggi dalam sistem peradilan agama di Indonesia.
Akan tetapi, dalam realita praktik terdapat kesenjangan antara idealisme dan realita yang dihadapi oleh para pencari keadilan. Bermacam-macam tantangan dan hambatan yang menghambat tercapainya cita-cita tersebut.
Beberapa Tantangan dan Hambatan yang biasa terjadi dalam realita praktik beracara di peradilan agama, yaitu ;
Beban perkara yang tinggi, Pengadilan agama di Indonesia dihadapkan dengan lonjakan jumlah perkara yang signifikan. Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam penyelesaian perkara dan antrian panjang bagi para pencari keadilan. Pada tahun 2023, tercatat lebih dari 2 juta perkara perceraian diajukan ke pengadilan agama di seluruh Indonesia.
Kurangnya infrastruktur dan sumber daya manusia, Keterbatasan infrastruktur dan sumber daya manusia, seperti hakim, panitera, dan juru penerjemah, menjadi kendala dalam kelancaran proses persidangan. Hal ini menyebabkan proses persidangan terhambat dan waktu penyelesaian perkara semakin lama.
Ketidaksesuaian norma agama dan budaya, Dalam beberapa kasus, terdapat norma agama dan budaya yang bertentangan dengan hukum positif. Hal ini menimbulkan dilema bagi hakim dalam memutus perkara.
Lalu yang terakhir ialah Kurangnya edukasi dan kesadaran hukum, Rendahnya tingkat edukasi dan kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum acara peradilan agama menyebabkan banyak pihak yang tidak memahami hak dan kewajibannya dalam proses peradilan. Hal ini dapat memperpanjang proses penyelesaian perkara dan menimbulkan kesalahpahaman.
Lalu apakah tidak ada Solusi untuk itu?